Sunday, July 20, 2008

kecewa itu SAKIT

Pertama kali gue kenal dengan dia di tempat bimbel. Keliatannya emang pinter. Yang pasti dia dari luar pulau bandung , sama seperti gue.
Kepintarannya keliatan dari ia telah diterima di perguruan tinggi negeri melalui PMDK. Dia selalu menyebutkan gue sahabatnya. Selalu bilang kangen kalau dalam satu hari itu kita ga ketemuan.
Bimbel intensifpun berakhir sudah. Kita uada jarang ketemu lagi. Suati hari, sms pun masuk ke dalam hp ku , “Nia, pkaabarr? Gi dmana? Ak lagi nginep di RS Hasan Sadikin ni.”. tanpa buang waktu, gue langsung menghubunginya , menanyakan lebih lanjut perihal masuknya ia kerumah sakit. Malamnya, gue menghubungi semua tementemen sekelas di bimbel. “INYITATION , tmen kita masuk RS. Bsokk kita jngukk yaa. Jam 9 ngumpul di ...”. sms ku sebar ke semua temen sekelas bimbel. Setelah itu, gue membuka leptop. Adobe photoshop, dan gue asyik meendesign kartu ucapan buat dia, karena gue ga tau mau ngasih apa ke dia.

Besoknya kita ngumpul ditempat yang telah disepakati. Sebelumnya, gue mampir ke warnet buat nge-print kartu ucapan gue. Karya gue untuknya. Lantas segera cari angkot menuju rumah sakit. Beberapa teman yang telah sampai di Hasan Sadikin, mengabarkan, tidak ada nama teman kami disana. Aku masih saja kekeuh kalau dia ada di Rumah sakit tersebut. Benar saja, aku sampai langsung menuju ke informasi. Berkalikali diyakinkan, tak ada teman kami disana.
Aku menghubunginya. Dia mengatakan bahwa dirinya , ada diruang paviliun. Tapi tak ia jelaskan paviliun apa dan dimana. Dirumah sakit ini hanya 2 paviliun dan letaknya sangat berjauhan. Kami melangkahkan kaki menuju paviliun yang terdekat dengan kami.
“Maaf, tidak ada pasien baru” kata suster disitu.
Teman-temanku mulai merasa ada hal yang aneh. Aku langsung menuju paviliun satunya lagi bersama satu temanku. Berjalan cepat. Sedangkan yang lain menunggu di paviliun pertama tadi.
Lagi lagi dan lagi lagi. Nama dia tak kutemukan di daftar pasien di paviliun tersebut. Beberapa menit kemudian, dia menelponku. Enteng , ia berkata, ‘ketemu paviliunnya?’
“Nama lo enggak ada. Sebenernya lo ada dimana sih?” gue jawab dengan ketus.
“Aku uda dirumah, 2 jam lalu aku uda nyampe rumah. Hehehe .. kalian pulang aja” telepon langsng gue matiin. Beberapa kali ia mencoba menghubungi gue, gue reject terus.
Dengan cepat gue gerakkin jari-jari gue , “Mau lo apa si ? 2 jam lalu, le nelepon vonny , lo bilang lo masih di RS dan bakal balik sore ini. Beberapa menit lalu, lo bilang ke gue, lo uda dirumah 2 jam lalu. PADAHAL waktu lo nelepon vonny tadi, gue ada di depan vonny. Lo bohong? Dan sekarang gue sama tementemen dateng capecape ke rumah sakit ini. Dengan gampangnya lo bilang lo uda pulang dan lo nyuruh kita pulang. Nyuruh kita pulang. Tega lo ! TEGA !’

Temen-temen gue yang tadinya nunggu di paviliun pertama, nyusul gue ke paviliun satunya lagi. Gue pingin nangis. Gue ngerasa bersalah. Gue diem. Dia menghubungi gue lagi. Gue angkat. Kali ini gue Loudspeaker. Biar semua temen-temen gue denger. Dia nangis-nangis di ujung telepon. Berkalikali meminta maaf. Dan berkalikali gue marah marah. Tetap tidak terima. Sampai akhirnya, salah temen gue nyaranin , “Udah Nia. Bilangin aja kita uda maafin. Sekarang suruh dia jujur aja. Apa yang sebenernya terjadi. Makin banyak dia ngomong. Makin besar kemungkinan dia bohong,”

Gue bilangin ke dia. Tapi bukannya mau jujur, dia malah tambah menjadi jadi menangis dan meminta maaf. Kesabarn gue abis. Gue bilang, “Maaf ya`, kepercayaan gue tertutupi kecewaku akan sikapmu. Kalo lo pengen gue percaya lagi ma lo. Tolong keluarga lo ngehubungi gue.” Telepon gue putus saat itu juga.

Akhirnya kita berjalan lunglai meninggalkan Rumah sakit yang ‘katanya’ tempat ia dirawat itu. Kita cari mesjid untuk sholat. Lalu makan. Mutermuter mall, menghilangkan kesal. Sore hari, ada telepon di HP gue. Ternyata itu ayahnya si dia. Mengabarkan ia masih sakit. Dan gue masih rada kurang percaya, karena suaranya yang ga mirip bapakbapak.

Beberapa hari kemudian, dia meminta gue untuk ketemuan dengannya. Ada yang mau disampaikan katanya.
* * *

Gue dateng ke tempat janjian bareng kakak gue. Tapi untuk ketemuan dengan dia, cukup gue aja.
Gue langsung duduk di foodcourt dimana kita ketemuan. Gue diem. Kesel. Dia datang penuh senyuman seolah semua dalam keadaan baikbaik saja. Dia mencubit pipi gue, yang langsung gue tangkis. Dia langsung berbicara, sedangkan gue mengalihkan pandangan dan tidak berbicara sepatah katapun padanya. Dia memberiku surat dan boneka babi. Lambat laun dia mulai ‘Ngeh’ dengan kondisi. “Mana Nia yang cerewet?” katanya riang. Gue diem. “Nia, mau liat luka ku?” tanyanya seraya menunjukkan jidatnya yang ditutupi perban. Aku hanya ber ‘ohh’ sesaat. Dia menceritakan apa yang sesungguhnya, di sakit RADANG OTAK!. Dan gue kembali diem. Di saat-saat seperti ini harusnya gue bisa menimbulkan rasa sedikit sayang, sedikit prihatin sama dia. Tapi ga bisa! Kecewa gue benerbener mendalam. Muak dengan keadaan, gue pamit pulang. Sebelumnya, gue mengeluarkan 2 buah kartu ucapan yang uda gue design buat dia. Gue suruh dia baca. Salah satunya gue ambil. Gue robek-robek sampai kecil didepan muka dia. Lalu gue lempar. Ditangannya masih ada kartu ucapanku lagi, ia baca lalu menitikkan air mata. Memelukku. Aku sambut pelukannya. “Cepet sembuh. Cukup aku yang kecewa.” Ucapkuu pelan. Nyaris tak keluar. Akupun meninggalkan tempat itu.

Malemnya, gue sms.
“Maaf, gue ga bisa bersikap biasa ke lo. Gue ga bisa sms panjang-panjang lagi. Gue terlalu sakit. Hati gue hancur. Gue sayang sama lo. Sayang sekali. Mungkin bohong lo terlalu sepele. Tapi itu ‘dalem’ buat gue. Maaf. Baikbaik lo disana”

Sampe sekarang gue ga pernah lagi mau balas sms dia. Kalaupun harus gue bales. Gue bakal bales sesingkat mungkin.
Satu hal yang mungkin dia ga tau dan ga akan pernah tau. Gue uda maafin dia dan sampai kapanpun gue baka keinget sma dia. Tapi untuk kembali berhubungan lagi, gue belum siap. Gue masih trauma.

No comments: